IMPLEMENTASI Terminal Booking System atau TBS
digadang-gadang sebagai salah satu solusi mengurai kemacetan maupun kepadatan
layanan receiving dan delivery dihari-hari tertentu pada terminal peti kemas di
kawasan pelabuhan Tanjung Priok.
Sebab, persoalan potensi kemacetan itu hingga kini masih
menjadi problematika tersendiri lantaran seringkali berimbas pada kelancaran
distribusi barang dari dan ke pelabuhan tersibuk di Indonesia itu.
Penerapan TBS juga sejatinya bertujuan untuk membagi atau
mengatur distribusi pergerakan truk di Pelabuhan secara merata, sehingga dapat
mengurangi potensi kemacetan di Pelabuhan maupun di jalur distribusi.
Sebagaimana semangatnya, penerapan TBS sebagai bagian dari
National Logistic Ecosystem (NLE), sesuai amanat Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penataan Ekosistem Logistik Nasional, yang
bertujuan untuk melakukan penataan tata ruang kepelabuhanan dan jalur
distribusi barang guna meningkatkan kinerja pelayanan, keselamatan, dan
keamanan di Pelabuhan Tanjung Priok.
Sistem TBS, selain harus berbasis Informasi dan Teknologi
(IT) yang mumpuni, juga wajib didukung infrastruktur area penyangga parkir
truknya atau buffer yang cukup sebagai tempat menungu trucking sebelum masuk ke
dalam terminal peti kemas yang telah terkoneksi dengan sistem itu.
Dengan kata lain, jika tidak ada buffer yang mumpuni dalam
mendukung TBS itu maka trucking masih bisa terjebak kemacetan atau
berputar-putar disekitar pelabuhan lantaran menunggu jadwal masuk yang sudah di
booking di terminal melalui sistem tersebut.
Jadi TBS di Pelabuhan Tanjung Priok itu mutlak memerlukan
buffer truck yang cukup, tetapi sayangnya kini hanya ada buffer di sisi barat
pelabuhan Priok yakni di lapangan eks Inggom-Jalan Martadinata. Namun yang
disisi timur belum ada buffernya.
Padahal 60-70% pergerakan trucking dari dan ke Priok berasal
dari sisi Timur seperti hinterland di Bekasi, Karawang, Cibitung, Cikampek,
Bandung Jawa Barat dan Sekitarnya.
Adapun fasilitas buffer yang disiapkan tersebut untuk
menunggu sementara trucking yang dokumen ekspor-impornya yang belum siap
sementara waktu. Buffer juga sebagai sarana untuk mengurai kemacetan. Kemudian,
di buffer tersebut ada informasi juga secara real time mana yang sudah masuk
atau belum ke dalam terminal sehingga semuanya transparan.
Pasalnya, ada konsekuensi kalau trucking telat masuk ada
demurage yang ditanggung pemilik barang. Makanya soal TBS juga perlu di
bicarakan secara konprehensif dengan pemilik barangnya. karena trucking hanya
sebagai pengangkut jika menerima order dari pemilik barang.
Yang perlu menjadi perhatian selanjutnya adalah,
konektivitas TBS harus menyeluruh dengan sistem digital berbasis website maupun
Apps yang bisa di akses secara transparan oleh pengelola terminal peti kemas,
pemilik barang, perusahaan truck maupun pihak industri atau hinterland-nya.
Sebab melalui sistem TBS juga bisa melihat bagaimana service
level agreement dan service level guaranted (SLA/SLG) diterminal peti kemas
sehingga layanannya lebih terukur. Karenanya, integrasi sistem TBS secara
menyeluruh itu juga hendaknya diterapkan terhadap layanan peti kemas domestik,
bukan hanya layanan internasional saja.
Sebagaimana diketahui, saat ini terdapat lima pengelola
fasilitas terminal petikemas internasional di pelabuhan Tanjung Priok, yakni;
Jakarta International Container Terminal (JICT), Terminal Petikemas Koja, New
Priok Container Terminal One (NPCT-1), Terminal Mustika Alam Lestari (MAL), dan
Terminal 3 Priok yang dikelolaoperasikan IPC-TPK.
Berdasarkan data yang dihimpun Logistiknews.id, hingga akhir
tahun 2024 saja di JICT menguasai sekitar 42,7% market share peti kemas ekspor
impor di pelabuhan Tanjung Priok. Sedangkan TPK Koja mencapai 19,7%, NPCT-1
sebanyak 22,2%, Terminal MAL 5,7% dan Terminal 3 Priok 6,4%.
Wacana Lama
Meskipun sudah lebih setahun diwacanakan, sayangnya
penerapan TBS itu hingga kini belum bisa direalisasikan sebagaimana yang
diharapkan. Padahal, TBS juga diharapkan mampu mengoptimalkan penggunaan sumber
daya, fasilitas pelabuhan, dan jalan raya untuk mengurangi biaya logistik.
Selain itu, mempercepat pelayanan penerimaan dan pengeluaran
barang guna meningkatkan kinerja layanan pelabuhan, terutama kelancaran arus
barang di wilayah pelabuhan Tanjung Priok dan sekitarnya.
Kemudian, meningkatkan komunikasi dan koordinasi antara
terminal, perusahaan truk, dan pemilik barang/perwakilan pemilik barang untuk
mendapatkan data trend penerimaan dan pengeluaran barang, yang mendukung
program percepatan penataan ekosistem logistik nasional.
Bahkan, Ketua Umun Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia
(ALFI) Jakarta, Adil Karim, pernah mengingatkan supaya penerapan TBS juga tidak
perlu bagaimana pola mengatur return cargo-nya.
Sebab, menurut Adil, kalau ada return cargonya justru bisa
menimbulkan persoalan baru terhadap trucking lantaran yang mengerjakan
pengangkutan impor selama ini belum tentu mendapatkan order untuk ekspor.
Pasalnya, tidak semua trucking maupun perusahaan pengurusan jasa kepabeanan
atau PPJK dapat order sekaligus keduanya kegiatan tersebut.
Memang idealnya, TBS itu fokus saja pada pengaturan keluar
masuk truk di terminal supaya lebih lancar dan terukur. Tetapi prasyarat
utamanya harus ada buffer trucking-nya terlebih dahulu.
Karenanya, program TBS di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok,
perlu di evaluasi secara menyeluruh dengan melibatkan pengguna jasanya supaya
memberikan efek manfaat bagi operator truk maupun pemilik barang.
Apalagi, penerapan TBS itu juga menjadi salah satu point
keputusan pada hasil Rapat Koordinasi (Rakoord) Stakehloders Membahas Kemacetan
di Tanjung Priok, pada pekan lalu.
Jadi, jika implementasi TBS itu dinilai sebagai salah satu
obat mujarab dalam mengurangi kepadatan lalu lintas truk di Pelabuhan Tanjung
Priok, maka tak perlu ada keraguan lagi mengeksekusinya, sehinga tak sekedar
menjadi wacana terus menerus.
Kalau mengutip istilah trend sekarang, kudu gercep,
segerakan saja…!
SUMBER : https://www.logistiknews.id/2025/04/27/tbs-kudu-gercep-kenapa/